Film Mata Tertutup menghadirkan cerita baru yang tidak mainstream, mengenai adanya fenomena sosial kemasyarakatan Indonesia yang kental dengan unsur agamis dan bias fundamentalis. Melalui film ini, keta mendapatkan pemahaman secara menyeluruh tentang problematika hidup beragama dan menangkap fenomena sosial secara gambling, dengan tema spesifik mengenai masyarakat menengah ke bawah yang terjerumus dalam lingkaran Negara Islam Indonesia (NII).
Melalui film ini, kita diajak untuk lebih cermat dalam memilih lingkaran sosial masyarakat, tidak mudah termakan propaganda, dan mampu memilih mana yang radikal dan tidak meskipun situasi ekonomi sedang tidak baik.
Film ini menceritakan tentang tiga tokoh utama yaitu Rima, Jabir, dan Asamih yang memiliki problematika dalam kehidupan sosial mereka masing-masing akan tetapi mereka semua masuk dalam lingkaran yang sama yaitu aliran NII. Dengan penceritaan secara mendetail pada setiap tokoh, kita akan melihat bagaimana tokoh ini mampu mewakilkan apa yang sesungguhnya sedang terjadi di luar sana yang mungkin saja sebagian besar orang belum mengetahuinya. Penggambaran emosi setiap tokoh tentu didukung oleh suasana dan pengadeganan yang matang, tetapi tidak lepas dari kelengkapan tata artistic yang disiapkan untuk mendukung setiap suasana yang dihadirkan seperti berikut ini:
Lokasi
Pemilihan lokasi untuk setiap scene mampu menggambarkan kehidupan masyarakat menengah ke bawah yang tinggal di tempat-tempat kumuh dan terpencil dengan penggambaran secara mendetail pada setiap lokasi. Penggunaan lokasi juga berhasil memberi suasana yang mendukung emosi setiap pemainnya sehingga mampu sampai kepada penonton. Seperti penggunaan lokasi yang kumuh, memberikan kesan miris pada penonton untuk bersimpati pada kehidupan tokohnya. Lokasi rumah-rumah yang tidak mewah dan bahkan tidak terlalu bagus juga membuat penontonnya bersimpati pada kehidupan masyarakat kelas bawah yang terjepit ekonomi. Kemudian lokasi tempat untuk mengaji juga berhasil menawarkan rasa religious yang kental di dalamnya. Sedangkan lokasi lainnya juga mendukung permainan emosi yang serupa.
Properti
Properti yang digunakan di dalam film ini tidak berlebihan, lengkap, detail, dan mampu menunjukkan segala aspek yang mendukung untuk mengartikan tempat dimana adegan tersebut diambil. Melihat film ini akan membuat kita merasakan langsung suasana nyata setiap keadaan secara langsung. Mulai dari perekrutan anggota NII yang dilakukan dengan menggunakan cara penculikan, konflik-konflik yang terjadi pada tokoh-tokohnya, dan adanya keadaan yang membuat penonton merasa geram terhadap cerita yang ditawarkan film ini sendiri.
Properti yang digunakan di kantor NII mampu mewakilkan semua yang dibutuhkan dalam kegiatan tersebut. Minim namun memiliki rasa perubahan luar biasa yang mampu mempropaganda siapa saja. Properti yang digunakan di rumah, yang menggunakan properti-properti tempo dulu menunjukkan bahwa tokoh tidak sanggup untuk membeli properti yang baru sehingga menggunakan barang-barang yang masih ada sampai sekarang. Terlihat pula bagaimana peralatan rumah tangga yang dipilih secara detail sehingga menampilkan bahwa barang-barang tersebut sudah sangat lama tidak terganti dengan yang baru dan dengan begitu kembali lagi menunjukkan sisi ekonomi yang tidak stabil.
Rasa religious juga berhasil disampaikan melalui properti dalam film ini. Penggunaan peci, alquran, sarung, baju koko, dan lain-lain sebagaimana mestinya kegiatan religus menunjukkan betapa NII memiliki rasa religius yang luar biasa besar sehingga penonton ikut terhanyut dalam dilema tokohnya yang bergabung dalam aliran ini.
Tata Rias
Mengangkat golongan menengah ke bawah, tentu saja penggunaan tata rias dalam film ini tidak mungkin terlalu jelas, hampir semuanya menggunakan tata rias natural. Di beberapa adegan, penggunaan tata rias pada tokoh dibuat kucel atau lusuh untuk menunjukkan dengan jelas wajah-wajah orang yang bahkan tidak sempat mengurus penampilan mereka. Meskipun begitu, sebagian besar adegan menggunakan tata rias apa adanya dan tidak terlalu berlebihan.
Kostum
Kostum yang digunakan dalam film ini juga mewakilkan apa yang biasa digunakan orang-orang kalangan menengah ke bawah. Kaos santai atau yang sudah agak lusuh, celana jins, celana kain menjadi pilihan umum yang digunakan sebagai kostum dalam film ini. Bahkan pada adegan kegiatan NII sendiri, penggunaan kostum hanya sebatas kemeja dan celana panjang. Hal tersebut tentu saja menggambarkan bahwa NII memiliki gaya berbusana yang sederhana mengikuti ajaran islam dan tidak berlebihan menggunakan perhiasan, sehingga jarang sekali ditemukan adanya penggunaan perhiasan yang digunakan tokohnya. Pakaian yang digunakan para tokoh utama seperti Rima dan Jabir adalah pakaian ala kadarnya, yaitu pakaian yang lebih menunjukkan kesan santai di dalamnya. Rima yang seorang wanita sederhana yang mencari jati diri menggunakan pakaian sekadar kaos, kemeja, dan celana. Kemudian Jabir, yang digambarkan sebagai laki-laki yang memiliki pekerjaan yang biasa saja tetapi memiliki masalah ekonomi digambarkan dengan penggunaan pakaian yang hanya kaos polos dan celana. Sedangkan pada tokoh Asimah sendiri, pakaian yang digunakan kebanyakan adalah daster untuk menunjukkan perjuangan seorang ibu dalam menjalani kehidupannya.
Akan tetapi, pada beberapa adegan adapula penggunaan kostum yang lebih bervariasi misalkan dalam adegan pengajian, para tokoh dipakaikan kostum yang memberikan kesan religius. Termasuk pula pada adegan-adegan ketika NII akan melancarkan aksinya, mereka benar-benar menggunakan pakaian serba hitam yang menunjukkan keberadaan aliran ini secara lebih terbuka dan nyata.
0 comments